Selasa, 22 November 2016

Filsafat Islam

I.                   PENDAHULUAN
Tidak dapat dielakkan lagi, bahwa pemikiran filsafat Islam dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Para filosof Islam banyak yang mengambil pemikiran-pemikiran Aristoteles, sehingga banyak teori-teori filsafat Yunani diambil oleh filsafat Islam. Para filosof Islam banyak terpengaruh oleh orang-orang sebelumnya yaitu filosof Yunani.
Seorang filosof berhak mengambil sebagian pandangan orang lain, tetapi itu tidak menghalanginya untuk membawa teori-teori dan filsafatnya sendiri. Ibnu Sina misalnya walaupun sebagai murid yang murni dari Aristoteles tetapi ia mempunyai pandangan tersendiri yang tidak dikatakan oleh gurunya.
Filosof-filosof islam, secara umum hidup didalam lingkungan dan kondisi yang berbeda dengan filosof-filosof lain, sehingga salah jika kita mengabaikan berbagai pengaruh kondisi ini dalam pemikiran dan teori-teori mereka. Jadi, dunia islam mampu menyusun suatu filsafat untuk dirinya sendiri yang berjalan seiring dengan nilai pokok agama dan kondisi sosialnya, dan tidak sesuatu apapun yang dapat menolong untuk mengenal dan mengetahui hakikat filsafat ini, kecuali harus mempelajari dan menjelaskannya.
Dalam konteks inilah, diawal pembahasan akan dilakukan telaah historis terhadap beberapa persoalan yang berhubungan dengan persoalan-persoalan sebagai berikut: bagaimana sebenarnya definisi filsafat islam, bagaimana kontak pertama kaum muslimin dengan filsafat yunani, dan bagaiman hubungan filsafat islam dengan filsafat yunani.

II.                RUMUSAN MASALAH
1.      Apa definisi filsafat islam?
2.      Bagaimana kontak pertama kaum muslimin dengan filsafat yunani?
3.      Bagaimana hubungan filsafat islam dengan filsafat yunani?




III.             PEMBAHASAN
1.      Definisi Filsafat Islam
Sebelum mendalami lebih jauh makna filsafat islam, kita harus memahami arti dari filsafat itu sendiri. Istilah filsafat dapat ditinjau melalui dua segi, yaitu segi etimologi dan terminologi. Filsafat islam merupakan gabungan dari dua kata, yaitu filsafat dan islam. Secara etimologi, filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu philein atau philos dan shophia. Kata philein atau philos berarti cinta, tapi dalam maknanya yang luas yakni berupa hasrat ingin tahu seseorang terhadap kebijaksanaan. Sehingga secara sederhana, filsafat adalah mencintai kebijaksanaan.
Secara terminologis, filsafat merupakan kontemplasi atau mempelajari pertanyaan-pertanyaan penting mengenai eksistensi kehidupan yang berakhir dengan pencerahan dan pemahaman, sebuah visi mengenai keseluruhan.
Sementara itu, kata Islam secara semantic berasal dari akar kata salima yang berarti menyerah, tunduk, dan selamat. Islam artinya menyerahkan diri kepada Allah, dan dengan menyerahkan diri kepada-Nya maka akan memperoleh keselamatan dan kedamaian.
Jadi, filsafat islam pada hakikatnya adalah filsafat yang bercorak islami.[1] Filsafat islam membahas tentang hakikat kebenaran sesuatu secara sistematis, radikal, dan universal. Sedangkan filsafat islam itu sendiri adalah hasil pemikiran para filsuf tentang ketuhanan, kenabian, manusia dan alam yang disinari ajaran agama islam dalam suatu pemikiran yang logis dan sistematis.
2.      Kontak Pertama Kaum Muslimin dengan Filsafat Yunani
a.      Penaklukan Alexander dan Perkembangan Pemikiran Yunani di Timur Tengah
Perkembangan pemikiran Yunani di kawasan Timur Tengah tidak dapat dilepaskan dari penaklukkan yang dilakukan Alexander yang Agung terhadap kawasan tersebut. Ia dapat menguasai Arbela, sebelah Timur Tigris pada tahun 331 yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Darius. Kedatangannya ke daerah tersebut tidak menghancurkan peradaban dan kebudayaan Persia, tetapi sebaliknya ia berusaha menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia. Dari segi kultural, ia sendiri berusaha mengenakan pakaian secara Persia, dan orang-orang Persia sendiri banyak pula yang diangkat menjadi pengawal-pengawalnya. Ia kawin dengan Statira, anak Darius.[2]
Setelah Alexander meninggal, perkembangan selanjutnya terdiri dari Kerajaan Ptolemeus di mesir, dengan Alexandria sebagai ibukotanya dan kerajaan Seleucid (Seleucus) di Asia dengan kota-kota pentingnya seperti Antioch di Siria, Seleucia di Mesopotamia dan Bactra di Persia sebelah Timur. Ptolemus dan Seleucus berusaha meneruskan politik Alexander untuk menyatukan kedua peradaban Yunani dan Iran. Sungguhpun usaha itu tidak berhasil, namun kebudayaan dan peradaban Yunani meninggalkan bekas di daerah-daerah ini. Bahasa administrasi yang dipakai disana ialah bahasa Yunani. Di Mesir dan Siria bahasa ini tetap dipakai sesudah masuknya Islam ke dalam kedua daerah itu, dan baru ditukar dengan bahasa Arab pada abad VII Masehi oleh Khalifah Bani Umayyah A. Malik Ibn Marwan (685-705). Alexandria, Antioch dan Bactra kemudian menjadi pusat ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Pada Abad III Masehi pusat-pusat kebudayaan Yunani ini ditambah dengan kota Jundishapur yang letaknya tidak jauh dari Baghdad (didirikan di tahun 762 M). Di sana sewaktu kota itu masuk ke dalam wilayah kekuasan Islam, telah terdapat suatu akademi dan rumah sakit.
Alexandria merupakan kota yang berfungsi sebagai salah satu pusat kegiatan intelektual yang penting dijaman akhir filsafat Yunani Kuno. Menurut keterangan yang diberikan oleh De Lacy O’leary, bahwa di kota ini terdapat bangunan musium yang dilengkapi dengan perpustakaan yang kemudian ia berkembang di zaman Philadelphia (285-247 SM) menjadi perpustakaan terbesar di dunia dalam bidang pemikiran Yunani.
Dari uraian singkat tersebut dapat disimpulkan bahwa penaklukkan Alexander yang Agung di kawasan Timur Tengah ternyata membawa pengaruh terhadap perkembangan pemikiran Yunani di daerah yang ditaklukkannya itu. Perkembangan pemikiran Yunani tersebut terlihat dari munculnya  berbagai pusat atau lembaga pengkajian filsafat Yunani. Semua kota yang menjadi tempat perkembangan pemikiran Yunani ini kemudian dikuasai oleh Islam.

b.      Peranan Khalifah Abbasiyah dalam Masuknya Pemikiran Yunani ke Dunia Islam
Ketika Khalifah Bani Abbas Al Mansur sakit di tahun 765 M, dinasehati oleh menterinya Khalid Ibn Barmak (Seorang Persia), kepala rumah sakit Jundishapur agar memanggil Girgis Ibn Bukhtyishu untuk mengobatinya. Khalid Ibn Barmak sendiri adalah berasal dari Bactra, dan dikenal sebagai keluarga yang gemar pada ilmu pengetahuan serta filsafat, dan condong pada paham Mu’tazilah.
Selanjutnya Harun Al Rasyid menjadi Khalifah Abbasiyah pada tahun 786 M. Sebelumnya ia pernah belajar di Persia di bawah asuhan Yahya Ibn Khalid Ibn Barmak. Dengan demikian ia banyak dipengaruhi oleh kegemaran keluarga Barmak pada ilmu pengetahuan dan  filsafat. Pada zaman pemerintahan Harun Al Rasyid inilah penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab mulai dilakukan.
Peranan penerjemahan dalam memasukkan pemikiran Yunani ke dalam Islam itu telah banyak disebut oleh para ahli sejarah. De Lacy O’eary misalnya, mengatakan bahwa orang-orang Islam menguasai filsafat Yunani adalah melalui kegiatan penerjemahan dan pensyarahan bahasa Yunani, dan kegiatan ini banyak mendapat bantuan dari orang-orang Suryani. Sumber lain menyebutkan bahwa sebagian besar karya ilmu-ilmu populer ditemui oleh orang Islam melalui dorongan dari orang-orang Kristen Nestoria, khususnya para penerjemah dari Siria. Melalui saluran ini sebagian besar ilmu pengetahuan Yunani seperti ilmu pengetahuan kealaman, matematika astronomi, geografi dan kedokteran, dapat dijumpai orang-orang Islam. Khususnya dalam bidang kedokteran, sumbangan yang besar diberikan oleh Akademi Jundishapur yang dipimpin oleh dokter-dokter Yahudi dan Kristen.
Melalui kegiatan penerjemahan itu para cendikiawan Muslim dapat menguasai berbagai disiplin ilmu pengeteahuan dan filsafat, dan mereka berusaha menambahkan kedalamnya hasil-hasil penyelidikan yang mereka lakukan sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran mereka dalam lapangan filsafat. Dengan demikian tidaklah tepat pendapat sebagian penelitian Barat yang cenderung memperkecil peranan kaum Muslimin, dimana mereka menganggap bahwa kaum Muslimin hanyalah sebagai penyalin, penerjemah, atau paling tidak sebagai penyarah dan komentator.
Anggapan ini dibantah oleh George Sarton yang pendapatnya dikutip oleh Dr. Effat al-Sharqawi. Beliau mengatakan bahwa pendapat demikian adalah keliru. Tidak ada kretifitas yang lebih besar dari kehausan yang mendominasi perasaan tokoh-tokoh pemikir Muslim akan ilmu pengetahun. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa kaum muslimin setelah mengenal Khazanah Yunani segera berusaha mengkaji, memberi komentar dan menjelaskannya. Mereka mengemukakan analis kritik dan polesan Islami terhadap pemikiran Yunani itu.
Perlu juga dikemukakan di sini bahwa keadaan perkembangan filsafat Yunani, ketika dijumpai oleh kaum Muslimin tengah dalam keadaan mundur , bahkan hampir hancur, karena ditekan dan diabaikan oleh para penguasa saat itu. Khazanah ilmu pengetahuan Yunani menemukan penyelamatannya yang mampu membangkitkan kembali pokok-pokoknya yang lama dan mengungkapkan subtansi-subtansinya dengan uraian yang orisinil pada orang Islam, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd. Selain itu, kaum Muslimin juga berusaha mengkompromikan antara filsafat dan agama dengan cara yang adil, seimbang dan rasional. Lebih jauh lagi seringkali sumbangan sumbangan kaum Muslimin itu lebih mendalam dan lebih tinggi peringkatnya daripada sumbangan yang diberikan oleh kaum Iskandariah dan lainnya dari filosof Hellennistik. 
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa khalifah Abbasiyah adalah awal mula diterjemahkannya naskah-naskah ilmu filsafat ke dalam bahasa Arab. Sehingga lahirlah sejumlah Filosof Muslim terkemuka dikalangan umat Islam. Kemudian ilmu filsafat dari para Filosof Muslim inilah yang dikenal dengan Filsafat Islam.
   
3.      Hubungan Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani
Kelahiran ilmu filsafat Islam dilatarbelakangi oleh adanya usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan pada masa klasik Islam. Dalam kegiatan penerjemah ini, sebagian besar karangan Aristoteles, Plato, buku-buku ilmu kedokteran berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, sehingga dapat dibaca oleh kaum Muslimin dan alim ulama.[3] Kaum Muslim banyak memanfaatkan metode berfikir logis Aristoteles, yang lebih dikenal ilmu mantiq.
Ahmad Salabi dan Louis Ma’luf menguraikan, bahwa sejarah kebudayaan Islam mencatat, ilmu filsafat tidak diketahui oleh orang-orang Islam, kecuali setelah masa Daulah Abbasiyah pertama. Ilmu ini ditransfer melalui penerjemah dari buku-buku filsafat Yunani yang telah tersebar di daerah-daerah Laut Putih seperti: Iskandaria, Anthakian, dan Harran. Para cendikiawan ketika itu berusaha memasukan filsafat Yunani sebagai bagian dari metodologi dalam menjelaskan Islam, terutama akidah untuk melihat persesuaian antara wahyu dan akal.
Aktivitas para filosof bersentuhan dengan penafsiran al-Qur’an secara filosofis besar sekali. Misalnya Al-Kindi, yang dikenal sebagai bapak Filosof Arab dan Muslim, berpendapat bahwa untuk memahami al-Qur’an dengan benar, isinya harus ditafsirkan secara rasional, bahkan filosofis. Al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang mengajak manusia untuk merenungkan peristiwa alam dan menyingkapkan makna dibalik terbit-tenggelamnya matahari dan pasang-surutnya air laut.
Filsafat Islam berkembang setelah umat Islam memiliki hubungan interaksi dengan dunia Yunani, seperti yang telah disebutkan oleh Nurcholis Majid, yang menyatakan bahwa pemakaian kata “filsafat” di dunia Islam digunakan untuk menerjemahkan kata “hikmah” yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunah. 
Dengan demikian, tampak jelas adanya hubungan yang bersifat akomodatif, bahwa filsafat Yunani memberi modal dasar dalam penelusuran berfikir yang ditopang oleh al-Qur’an sejak dulu. Secara teologis, bahwa sumber al-Qur’an secara azali telah ada, namun filsafat Yunani hanya sebagai pembuka, sementara bahan-bahannya sudah ada di dalam al-Qur’an.
Abdul Mun’in mengatakan bahwa islam adalah agama yang memberikan kebebasan dalam membicarakan filsafat, berbeda halnya dengan Kristen. Dengan demikian orang arablah yang memberikan keutamaan dalam menyebarkan filsafat yunani dan menyiarkannya ke penjuru dunia. Lebih terbuka lagi dinyatakan oleh O’Leray “sekarang kita mengikuti jalannya filsafat Helleneis. Dari Yunani ia mengalir ke dalam pengetahuan Syiria lama. Kemudian berjalan dari orang-orang Syiria ke dalam dunia kaum muslimin yang berbahasa Arab. Orang-orang arab kemudian memasukkannya kembali ke tengah-tengah dunia Arab.” Sampai disini dapat dinyatakan bahwa hubungan filsafat islam dengan filsafat yunani adalah sebagai pengembang dan penerus sekaligus pelopor filsafat yang bercorak islam yang disebarkan ke berbagai penjuru dunia barat.
IV.             KESIMPULAN
Filsafat islam merupakan hasil pemikiran para filsuf tentang ketuhanan, kenabian, manusia dan alam yang disinari ajaran agama islam dalam suatu pemikiran yang logis dan sistematis. Kontak pertama kaum muslimin dengan Filsafat Yunani berawal dari penaklukkan Alexander yang Agung di kawasan Timur Tengah ternyata membawa pengaruh terhadap perkembangan pemikiran Yunani di daerah yang ditaklukkannya itu. Perkembangan pemikiran Yunani tersebut terlihat dari munculnya  berbagai pusat atau lembaga pengkajian filsafat Yunani. Semua kota yang menjadi tempat perkembangan pemikiran Yunani ini kemudian dikuasai oleh Islam. Kemudian pada masa khalifah Abbasiyah adalah awal mula diterjemahkannya naskah-naskah ilmu filsafat ke dalam bahasa Arab. Sehingga lahirlah sejumlah Filosof Muslim terkemuka dikalangan umat Islam. Kemudian ilmu filsafat dari para Filosof Muslim inilah yang dikenal dengan Filsafat Islam.

Tampak jelas adanya hubungan yang bersifat akomodatif, bahwa filsafat Yunani memberi modal dasar dalam penelusuran berfikir yang ditopang oleh al-Qur’an sejak dulu. Secara teologis, bahwa sumber al-Qur’an secara azali telah ada, namun filsafat Yunani hanya sebagai pembuka, sementara bahan-bahannya sudah ada di dalam al-Qur’an dan hubungan filsafat islam dengan filsafat yunani adalah sebagai pengembang dan penerus sekaligus pelopor filsafat yang bercorak islam yang disebarkan ke berbagai penjuru dunia barat.





DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Silvia, Yudhira. Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000.
Zaprulkhan. Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.



[1] Zaprulkhan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014) hal. 3-5
[2] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999) hal. 9

[3] Yudhira Silvia, Ensiklopedia Islam, (Jakarta:Ichtiar Baru Van Hoeve,2000) hal. 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar